Selasa, 16 September 2008

Update PC-Media free, disini...!!!!!

Senin, 15 September 2008

KRITIK DAN FALSAFAH SENI

Pada darasarnya memang perlu bagi para mahasisiwa seni untuk mempelajari studi tentang refleksi sejarah seni. Kritik seni dapat ditinjau dalam arti terbatas, hal ini terjadi apabila krutukus seni meninjau segala sesuatunya hanya dari segi artistik dan didamping itu membatasi dirinya tentang nilai artistik (tentang pendapat dan efeknya, alasan pelaksanannya).

Seorang kritikus seni dapa tmelangkah lebih jau serta meneliti karya seni dalam keseluruhan pandangan hidupnya, artinya tidak meneliti aspek-aspek artistiknya saja, tetapi aspek morilnya juga. Dalam kedua tinjauan tersebut seorang kritu=ikus mengambil ketentuan agar sempurna, maka karya seni maka karya seni itu harus memiliki ciri-ciri tertentu, ciri-ciri ini dapat dapat diwujudkan oleh seniman, asalkan ia mau untuk mengikuti pedoman-pedoman tertentu.

Dalam kritik yang bersifat menyeluruh dan memiliki kegunaan, seharusnya karya seni berguna bagi individu, masyarakat dan manusia pada umumnya, maka norma lain kecuali diatas juga ikut berbicara. Hubungan antara norma etis dan artistik hanya dapat ditetapkan atas dasar pembandingan nilai etis dan artistik.

Pembandingan tersebut memberikan kita pada kesimpulan bahwa keduanya dapat terpisah secara mutlak atau sebaliknya dapat berhubunga dengan baik dalm bentuk kondisi maupun hierarchie. Akan tetapi pembandingan serta kesimpulan yang didapat dari pembandingan tersebut menunjuk akan adanya dasar-dasar yang bersangkut paut dengan pandanganhidup dan pandanga dunia, bahwa dasar-dasar tesebut bersifat filosofis ataupun theologis, pada mereka yang hidup taat beragama. Malah kritik yang murni artistikpun yang bertumpu pada cita rasa atau smaak, mengandung keyakinan (bertindak atas dasar filsafah).

Semua karya seni oleh kritikusa ditinjau/dinilai berdasarkan atas ukuran tertentu. Apabila didalam kenyataannya dasar ukuran itu bersumber kepada kepribadiaan manusia, maka kenyataan ini hanya dapat dibenarkan berdasarka asas-asas yang dapat dibuktikan secara logis,dan yang ditetapkan secara falsafah. Jika kritik seni tiu harus melebihi posisi yang subjektif, maka ia harus mempunyai ketentuan-ketentuan yang obyektif, ketentuan yang harus muncul pada refleksi yang tidak mengandung purba sangka.

Apakah seni itu?...apakah nilai artistik itu?...apakah keindahan itu?...

Apakah petanyaan pertanyaan seperti tu harus tetap tanpa jawaban ataukah seorang kritikus hanya mengungkapkan definsi yang dogmatis dan atasa dasar logika, ia berani mengatakan karya seni yang satu lebih indah dan lebih bernilai dari karya seni yang lainya. Kalau ia menggunakan kriteria kuantitatif dan menyatakan yang indah adalah yang dirasakan demikaan oleh kebanyakan orang atau berpihak pada golonga aristokrat yang tak besar jumlahnya, tetapi dianggap lebih bearadap, atauka tunduk kepada seni klasik Eropa Barat dan besifat umum manusiawi, maka ia tidak akan terhundar persoalan-persoalan tentang keindahan serta tidak akan terhindar dari problematika yang bersumber dari selisih pendapat antar golongan.

Bagaimanapun orang meninjau persoalan ini, baik kritik seni maupun sejarah seni menganggap akan adanya suatu sistem yang implisit yang meliputi pengertiaan-pengertian yang umum dan asas-asas yang mengenai ciri yang hakiki yang menjadi dasar seni, baik seni lukis, seni sajak, maupun seni musik.

Sistem yang implisit ini barulah cukup memiliki satu nilai yang logis, apabili berkat diadakannya studi yang metodis yang dibatasi secara tegas atau dijadikannya ilmu pengetahuaan yang memiliki ketentuan yang tegas.

Hingga saat ini tekah muncul tiga jenis studi, yaitu; Essay (korte studi), karya-karya yang bernilai falsafah, monografi-monografi (tukisan tunggal) yang benar-benar ilmiah. Tidak seberapa sulit untuk membuktikan bahwa kebanyakan essay bertumpu kepada kesimpulan yang murni dan asas-asas yang bersifat falsafah. Di dalam karangan-karang yang positifpun terkandung falsafah pengetahuaan, kenyataan dalam kseluruhan. Menurut karangan yang disusun oleh Kant, Shelling, Hege, banyak dijumpai pandangan yang mendalam (obseravasi yang cermat) dan yang dapat mempercaya ilmu pengetahuaan yang bersifat positif. Jika hubungan antara karya seni, hal ikhwal mencipta benda-benda seni, perasaaan seni, adalah merupakan kenyataan, maka demikianlah halnyadengan hubungan percampuran atau pandangan yang normatif dan positif, antara pengetahuaan yang vulgar (tak pasti), ilmiah dan falsafahi.

Kalau kita menerima keputusan ini, disamping kemungkinan akanadanya ilmu yang merintis (mendahuli) sejarah dan mendahului kritik tentang karya seni maka akan jelas bahwa yang disebut falsafah seni adalah studi falsafahi tentang ketentuan-ketentuan yang paling umum dan asas-asas yang menjadi dasar tritunggal seni; karya seni, perasaan seni, serta hal mencipta seni.

Bedasarkan falsafah yang telah dijelasakan diatas, maka mungkinlah dibina suatu sejarah seni yang umum, dengan beberapa nama dan karya-karya seni sebagai tipe, dan disamping itu juga kritik seni yang benar-benar ilmiah, yang diharapkan akan dapat menyampaikan pandangan yang subyektif.